PERLINDUNGAN KONSUMEN
Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau
perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau
sesuatu atau sese orang yangmenggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. Dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendefinisikan
konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan dari pengertian
tersebut, yang dimaksud konsumen orang yang berststus sebagai pemakai barang
dan jasa.
Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia
memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar
hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan
penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi.
Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan
pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun
diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20
april 1999.
- Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
- Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
- Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
- Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
- Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
- Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
- Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan
konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa
mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa
konsumen (BPSK).
Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang
sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan
Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan
sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut :
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
- Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.
Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999,
tentang perlindungan konsumen disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak
konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar
pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak
konsumen.Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen
beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang
berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya
telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang
ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen,
yang bermula dari ”benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman
dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala
upaya berdasarkab atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau
menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku
usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah
menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.Di
samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan
teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus
transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara,
sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar
negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak
mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau
jasayang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk
memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan
dan kemampuan konsum Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat
mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan
konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis
untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat
promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah
tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama
disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang
Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi
pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan
upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah
mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku
usaha adalah mendapat kentungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal
mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan diatas,
perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat
melindungi kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif serta dapat
diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak
dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya
perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong
lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan
barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada
pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya pembinaan dan
penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini
dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan
nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap
konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang
berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara
Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping itu, Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur
tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang
tentang Perlindungan Konsume ini telah ada beberapa undang-undang yang
materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
- Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang;
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
- Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
- Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World
Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia);
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
- Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
- Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;
- Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
- Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
- Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
- Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar
hak atas kekayaan intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 12
Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten,
dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan
atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang
HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen di bidang
lingkungan hidup tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen
ini karena telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban setiap orang untuk memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup.
Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya
undang- undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang
melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen ini merupakan paying yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan
hukum di bidang perlindungan konsumen.
Asas dan Tujuan Perlindungan
Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan
pada sejumlah asas dan
tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan
dalam implementasinya di
tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas,
hukum perlindungan
konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
2.4.1. Asas perlindungan konsumen .
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima
asas perlindungan
konsumen.
- Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara
keseluruhan.
- Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat
bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
- Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material
maupun spiritual. d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen.
- Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
- Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan
perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan
bahwa tujuan
perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
- Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
- mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
- Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
- Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
- Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
- Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Hak dan Kewajiban Konsumen
1.Hak-Hak
Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki
sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting
agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya,
jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara
spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh
untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam
saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak
konsumen sebagai berikut :
- Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
- Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
- Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
- Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
- Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku
usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban
pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut
ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh
pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan
terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No.
5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen
dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang
merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan
apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen (bab VII),
bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya (bab IX, X, dan XI).
2.Kewajiban
Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
- Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
- Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Prinsip-Prinsip perlindungan konsumen
1.prinsip
bertanggung jawab berdasarkan kelalaian
Tanggung jawab berdasrkan kelalaian adalah suatu
prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawabysng
ditentuksn oleh perilaku produsen. Sifat subjektifitas muncul pada kategori
bahwa seseorang yang bersikap hati-hati mencegah timbulnya kerugian pada
konsumen. Berdasarkan teori tersebut, kelalaian produsen yang berakibat pada
munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk
mengajukan tuntutan kerugian kepada produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian
produsen, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen diajukan
dengan bukti-bukti, yaitu :
- Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.
- Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar yang aman untuk di konsumsi atau digunakan.
- Konsumen penderita kerugian.
Kelalaian
produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen (hubungan
sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen)
Dalam
prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan
tingkat responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
- Tanggung Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan Kontrak
Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan
kelalaian adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur
kesalahan dan hubungan kontrak. Teori ini sangat merugikan konsumen karena
gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat, yaitu adanya unsur
kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen.
Teori tanggung jawab produk brdasrkan kelalaian tidak memberikan perlindungan
yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua kesulitan
dalam mengajukan gugatan kepada produsen, yaitu, pertama, tuntutan adanya
hubungan kontrak antara konsumen sebagai penggugat dengan produsen sebagai
tergugat. Kedua, argumentasi produsen bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh
kerusakan barang yang tidak diketahui.
- Kelalaian Dengan Beberapa Pengecualian Terhadap Persyaratan Hubungan Kontrak
Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab
berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang tetap berdasarkan
kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap persyaratan
hubungan kontrak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa persyaratan
hubungan kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen untuk mengajukan ganti
kerugian kepada produsen. Prinsip ini tidak memeihak kepada kepentingan
konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami kerugian atas
pemakaian suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki kepentingan hukum
dengan produsen.
- Kelalaian Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung jawab atas dasar kelalaian
dengan beberapa pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua
dalam perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk, maka tahap berikutnya
adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang tetep berdasarkan
kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak.
- Prinsip Paduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian Terbaik
Tahap pekembangan trakhir dalam prinsip tanggung jawab
berdasarkan kelalaian adalah dalam bentuk modifikasi terhadap prisip tanggung
jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini bermakna, adanya
keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung jawab berdasarkan
kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan kesalahan. Modifikasi
ini merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung jawab mutlak.
Prinsip
Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi
Selain mengajukan gugatan terhadap kelalaian produsen,
ajaran hukum juga memperkenalkan konsumen untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi.
Tanggung jawab produsen yang dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab
berdasarkan kontrak. Ketika suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian,
konsumen biasanya melihat isi kontrak atau perjanjian atau jaminan yang
merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis maupun lisan. Keuntungab bagi
konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini adalah penerapan kewajiban yang
sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang
telah dilakukan penjual untuk memenuhi janjinya. Itu berati apabila produsen
telah berupaya memenuhi janjinya tetapi konsumen tetap menderita kerugian, maka
produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Akan tetapi,
dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi terdapat beberapa
kelemahan yang dapat mengurangi bentuk perlindungan hukum terdapat kepentingan
konsumen, yaitu :
- Pembatasan waktu gugatan.
- Persyaratan pemberitahuan.
- Kemungkinan adanya bantahan.
- Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal maupun vertikal.
Prisip
Tanggung Jawab Mutlak
Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product
liability. Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang beredar dipasaran.
Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni unsur kesalahan tidak
perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan
ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya.
Penggugat (konsumen) hanya perlu membuktikan adanya hubungan klausalitas antara
perbuatan produsen dan kerugian yang dideritanya. Dengan diterapkannya prinsip
tanggung jawab ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk
barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus
mempermasalahkan ada atau tidanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak
diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :
- Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
- Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar