Rabu, 07 Mei 2014

HUKUM PERJANJIAN



Hukum Perjanjian
    Peranan hukum yang kuat sangat dibutuhkan oleh suatu Negara untuk mewujudkan situasi Negara yang kondunsif dan berkomitmen.Indonesia merupakan salah satu Negara hukum dimana setiap tata cara pelaksanaan kehidupan didalamnya berlandaskan hukum.Mulai dari yang berbentuk tertulis maupun yang berbentuk abstrak.Dan dimana hukum tersebut dijalankan oleh pemerintah dan rakyatnya.
   Apa Itu Hukum Perjanjian?
Salah satu bentuk hukum yang berperan nyata dan penting bagi kehidupan masyarakat adalah Hukum Perjanjian.Hukum perjanjian merupakan hukum yang terbentuk akibat adanya suatu pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain.Atau dapat juga dikatan hukum perjanjian adalah suatu hukum yang terbentuk akibat seseorang yang berjanji kepada orang lain untuk melakukan sesuatu hal.Dalam hal ini,kedua belah pihak telah menyetujui untuk melakukan suatu perjanjia  tanpa adanya paksaan maupun keputusan yang hanya bersifat sebelah pihak.
    Kenapa Diciptakan Hukum Perjanjian?
Dapatkah anda membayangkan resiko apa yang akan terjadi pada transaksi pinjam meminjam apabila tidak ada perjanjian yang jelas?Salah satu kemungkinan yang akan terjadi adalah salah satu pihak akan mangkir dari tanggung jawab untuk membayar kewajibannya.Inilah salah satu penyebab mengapa dikeluarkannya hukum perjanjian.Hukum perjanjian dikeluarkan dengan tujuan agar semua proses kerjasama yang terjadi dapat berjalan dengan lancar dan untuk mengurangin resiko terjadinya penipuan atau hal apapun yang beresiko merugikan salah satu pihak.Peranan hukum disini adalah sebagai pengatur atau sebagai penunduk para pelaku hukum agar tetap bertindak sesuai peraturan yang telah ditentukan,dan tentunya peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang berlandaskan UUD.contohnya Pasal 13 ayat 20 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
   

Untuk Siapa Hukum Perjanjian Di Tujukan?Dan Kapan Terjadinya?
Hukum perjanjian dilakukan oleh dua pihak yang saling bekerjasama.Ketika merka sepakat untuk melakukan kerja dengan disertai beberapa syarat(perjanjian) maka pada saat itu sudah terjadi hukum perjanjian.Sebagai contoh dan untuk memudahkan dalam penalaran,misalnya pada pasar uang hukum perjanjian dilakukan oleh kedua belah pihak,yaitu investor dan emiten.Dikeluarkannya hukum perjanjian adalah untuk melindungi investor dari berbagai resiko yang mungkin akan terjadi.Hukum perjanjian tidak hanya menyangkut masalah ekonomi.Hukum perjanjian juga mengatur berbagai kerjasama yang menyangkut dua pihak yang terkait.Misalnya hubungan antar Negara(bilateral maupun multilateral),pengalihan kekuasaan,mengatur harta warisan,perjanjian kontrak kerja,perjanjian perdamaian. Di Indonesia,tidak semua perjanjian yang isinya merupakan kesepakan murni antara dua belah pihak.Tetapi ada juga beberapa perjanjian yang didalamnya terdapat campur tangan pemerintah.
   Bagaimana Proses Terjadinya Hukum Perjanjian?
 Hukum perjanjian merupakan suatu yang terbentuk dengan mempertimbangkan berbagai  aspek yang akan terkait didalamnya.Berikut akan dijelaskan proses terjadinya atau bagaimana terjadinya hukum perjanjian.Berikut ini akan dijelaskan bagaimana proses terbentuknya hukum perjanjian.
Hukum perjanjian terbentuk dengan beberapa asas-asas perjanjian.
1.Asas Itikad Baik
    Dalam konteks ini,yang dimaksud dengan itikad baik adalah hukum perjanjian tersebut dibentuk dengan suatu tujuan dapat memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.Yang diharapkan disini adalah kedua belah pihak memberikan seluruh kemampuan,usaha dan prestasi mereka sesuai dengan yang tertera di dalam surat perjanjia.
2.Asas Konsensualitas
    Dalam konteks ini,maksdunya adalah perjanjian tersebut sudah dinyatakan sah oleh kedua belah pihak dan bukan merupakan suatu perjanjian yang bersifat formalitas belaka.
3.Perjanjian Berlaku sebagai Undang-undang
    Dalam konteks ini,maksudnya adalah perjanjian yang telah dibuat dan sudah disahkan dianggap sebagai acuan yang mengikat kedua belah pihak untuk bertindak sesuai isi perjanjian.
4.Asas Kepribadian
   Dalam konteks ini,maksudnya adalah perjanjian tersebut dibuat hanya mengaitkan kedua belah pihak saja dan tidak ada pihak ketiga yang dirugikan akibat perjanjian tersebut.
5.Kebebasan Berkontrak
     Menyangkut:
1.Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian
2.Kebebasan untuk memilih dengan siapa akan melakukan perjanjian
3.Kebebasan untuk menetukan obyek perjanjian
4.Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian
    Apabila azas-azas diatas telah terpenuhi,maka hukum perjanjian dapan dapat dilaksanakan dengan membuat surat perjanjian yang melampirkan identitas kedua belah pihak dan obyek perjanjian,dan tidak lupa dilengkapi dengan materai .Apabila obyek perjanjian menyangkut masalah seperti warisan atau jual beli tanah,maka pengesahannya dilakukan dengan melibatkan notaries.
Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
  1. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian  harus cakap menurut hukum,  serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang  oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.  Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:
-          Orang yang belum dewasa.
Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
(i)           Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
(ii)          Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
-          Mereka yang berada di bawah pengampuan.
-          Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
-          Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
  1. Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
  1. Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian  haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan  ketertiban
Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan  syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
A.3.    Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
  1. Tidak melaksanakan isi perjanjian.
  2. Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
  3. Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
A.4.    Hapusnya Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a.   Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela.  Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c.   Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama.  Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
d.   Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur.  Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:
(i)       Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
(ii)      Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
(iii)     Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).
e.   Percampuran utang
Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
f.   Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
g.   Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h.   Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti  permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi   syarat   subyektif  dapat  dilakukan  dengan  dua  cara, yaitu:
(i)       Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;
(ii)      Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
  1. i. Berlakunya suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j.    Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun.  Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
B.       STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
  1. Judul/Kepala
  2. Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
  3. Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
  4. Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
  5. Penutup dari Perjanjian.
C.        BENTUK PERJANJIAN
Perjanjian dapat berbentuk:
  • Lisan
  • Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
-          Di bawah tangan/onderhands
-          Otentik
C.1.     Pengertian Akta
Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani pihak yang membuatnya.
Berdasarkan ketentuan pasal 1867 KUH Perdata suatu akta dibagi menjadi 2 (dua), antara lain:
a.  Akta Di bawah Tangan (Onderhands)
b. Akta Resmi (Otentik).
Akta Di bawah Tangan
Adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau Notaris. Akta ini yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya.  Apabila suatu akta di bawah tangan tidak disangkal oleh Para Pihak, maka berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik.
Perjanjian di bawah tangan terdiri dari:
(i)     Akta di bawah tangan biasa
(ii)    Akta Waarmerken, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak.
(iii)   Akta Legalisasi, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak  namun  penandatanganannya   disaksikan   oleh  atau di hadapan Notaris,
namun Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi dokumen melainkan Notaris hanya bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut.
Akta Resmi (Otentik)
Akta Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta itu.  Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya.
Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang mendapat hak dari para pihak. Sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
(i)     Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.
(ii)    Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
(iii)   Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar